Rabu, 04 April 2018

ASPEK LEGAL STATUS PENYIDIK KPK DARI LUAR POLRI DAN KEJAKSAAN



Seiring dinamika hubungan Polri dengan KPK, terutama menyangkut isu penugasan penyidik Polri menjadi penyidik KPK, pemenuhan kebutuhan penyidik KPK yang dinilai masih sangat kurang mengingat beban kerja yang sangat berat dan menumpuk, sampai persoalan menjaga independensi kinerja penyidik KPK, maka kemudian muncul sebuah gagasan bahwa KPK dapat mengangkat sendiri penyidik dari luar Polri ataupun Kejaksaan, yang bersumber dari internal KPK ataupun eksternal KPK, termasuk para penggiat anti korupsi.  Namun, pertanyaan utama yang mengemuka dan mengganjal adalah menyangkut eksistensi dan aspek legal status penyidik KPK yang diangkat bukan berasal dari Polri ataupun Kejaksaan. 
Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang KPK menegaskan bahwa “Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi”,  sehingga konsekuensinya penyidik Polri atau Kejaksaan yang diangkat menjadi penyidik KPK harus diberhentikan dari jabatannya di Polri atau Kejaksaan, sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (3) UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, “Penyelidik, penyidik, dan penuntut umum yang menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi, diberhentikan sementara dari instansi kepolisian dan kejaksaan selama menjadi pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi”.  Berdasarkan ketentuan dari kedua pasal tersebut, penyidik Polri yang ditugaskan menjadi penyidik KPK sesuai dengan ketentuan pasal 6 ayat (1) huruf b. UU No 8 Tahun 1988 tentang KUHAP statusnya adalah sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), bukan lagi penyidik Polri, demikian pula apabila pengangkatan penyidik KPK berasal dari luar Polri ataupun Kejaksaan, statusnya adalah sebagai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Penyidik KPK yang memiliki status sebagai PPNS semestinya tunduk terhadap PP No 43 Tahun 2012, terkecuali peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi menyatakan lain (lex superior derogat legi inferiori) atau peraturan yang setingkat tetapi lebih baru menyatakan berbeda (lex posterior derogat legi priori atau lex posterior derogat legi anteriori).  Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 43 Tahun 2012 mengatur tentang tata cara pelaksanaan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.  Pasal 9 ayat (2) mengatur tata cara koordinasi operasional penyidikan PPNS dengan Polri.  Pasal 12 poin (b) dan pasal 14 mengatur pengawasan Polri bersama pimpinan institusi bersangkutan terhadap PPNS.  Pasal 16 poin b dan Pasal 18 mengatur tentang Pembinaan Teknis PPNS yang menyangkut pendidikan dan pelatihan PPNS serta pengembangan PPNS.
Kewenangan Polri dalam melakukan koordinasi operasional dan pengawasan penyidik KPK  sebagai bagian dari penyidik PPNS sebagaimana diatur Pasal 9 ayat (2), Pasal 12 poin (b) dan pasal 14  PP No 43 Tahun 2012 menjadi gugur diakibatkan Pasal 42 UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK menegaskan bahwa “Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum”.  Namun demikian, pembinaan teknis penyidik KPK dalam hal pendidikan, pelatihan dan pengembangan kemampuan atau kompetensi penyidikan tetap menjadi kewenangan dan tugas Polri sebagaimana diatur dengan ketentuan Pasal 16 huruf b dan Pasal 18 PP No 43 Tahun 2012. 
Selama ini, ketika penyidik KPK diambil dari Polri atau dapat juga diambil dari Kejaksaan, aspek kompetensi penyidik tidak menjadi masalah karena penyidik KPK dari Polri merupakan SDM yang sudah terbentuk dan berpengalaman dalam bidang penyidikan atau secara umum dalam bidang reserse kriminal, sedangkan PPNS harus terlebih dahulu mendapatkan pembinaan teknis penyidikan dari Polri.  Konsekuensinya, Penyidik KPK yang diangkat bukan berasal dari Polri atau Kejaksaan tetapi tidak mendapatkan bimbingan teknis dari Polri tidak memiliki kewenangan serta tidak memiliki kompetensi yang dinilai cukup dan sah berdasarkan ketentuan PP No 43 Tahun 2012 tersebut.
Apabila pengangkatan penyidik KPK tidak memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, konsekuensinya seluruh tindakan penyidikan KPK dapat dinilai tidak sah dan cacat hukum, sedangkan proses pengangkatan penyidiknya yang tidak memenuhi ketentuan dapat dipersoalkan sebagai pelanggaran hukum tata usaha negara dan dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).  Sebagai salah satu Komisi Negara, KPK sudah seharusnya taat asas dan taat hukum untuk memastikan tata kelola pemerintahan berjalan dengan baik (good governance) dan memberikan teladan serta pendidikan kesadaran hukum, khususnya kepada para penyelenggara negara lainnya dan secara umum kepada seluruh masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.