Rabu, 04 April 2018

BENARKAH PENETAPAN STATUS PENAHANAN TERSANGKA SAKIT MELANGGAR HAM



HAM selalu dijadikan salah satu senjata pamungkas pengacara ketika kliennya dilakukan upaya paksa oleh penegak hukum pasca ditetapkannya sebagai tersangka.  Perspektif HAM dalam penegakan hukum yang pada dasarnya  bercita-cita menjunjung tinggi dan menghormati harkat dan kehormatan sebagai manusia dalam proses penegakan hukum, untuk diperlakukan sama di depan hukum dan mencegah kesewenang-wenangan aparat penegak hukum tidak jarang disalahgunakan untuk membangun argumentasi hukum secara serampangan.
Oleh karena itu, menjadi hal penting dan krusial untuk memahami ketentuan HAM yang berkaitan dengan penegakan hukum sehingga mampu mendudukkan persoalan proses penegakan hukum atau hukum acara/formil dalam perspektif HAM secara tepat, akurat dan proporsional.   Berkaitan hal ini, International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR) ataupun UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan untuk mengakui, menjamin, memberi perlindungan dan pengakuan hukum yang adil, mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum (pasal 3),  memiliki hak menuntut dan memperoleh perlakuan dan perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum, mendapatkan bantuan dan perlindungan hukum yang adil, obyektif dan tidak memihak, serta kelompok rentan berhak mendapatkan afirmasi hukum (pasal 5), termasuk hak untuk tidak disiksa, diakui sebagai pribadi di depan hukum dan tidak dapat diberlakukan asas retroaktif (pasal 4). 
 Upaya hukum apapun termasuk memanfaatkan forum hukum nasional maupun forum hukum internasional secara hukum memang diakui berdasarkan peraturan perundang-undangan.  Pasal 7  ayat (1) UU No 39 Tahun 1999 menegaskan “Setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia”,
Namun demikian, upaya hukum tersebut harus didasarkan pada perlakuan hukum yang selaras dengan ketentuan hukum acara atau hukum formil yang berlaku. Pasal 17 UU No 39 Tahun 1999 menegaskan “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar”.
Berdasarkan ketentuan KUHAP, tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan secara sah dapat dilakukan setelah proses penegakan hukum mencapai tahap penyidikan.  Ketentuan Umum dalam KUHAP tentang penyidikan menegaskan penetapan tersangka merupakan bagian dari rangkaian penyidikan, sehingga konsekuensinya terhadap tersangka dapat dikenakan upaya penahanan, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP.
Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) perintah penahanan terhadap seorang tersangka yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dilakukan dalam hal:
1. adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan diri,
2. adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan merusak atau menghilangkan barang bukti
3. adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan mengulangi tindak pidana.
Sedangkan Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang menyatakan bahwa penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
1.      tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
2.      tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).

Dengan demikian, berpegang pada pasal 17 UU No 39 Tahun 1999 dan KUHAP telah jelas bahwa upaya penahanan ataupun upaya lainnya tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM apabila diselenggarakan dalam proses penyidikan sepanjang selaras demham KUHAP.  Namun bagaimana seandainya tersangka dalam keadaan sakit namun tetap dilakukan upaya penahanan atau ditetapkan statusnya sebagai tahanan karena terpenuhinya unsur pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP?. 
Dalam hal seperti ini penahanan tetap dapat dilakukan dan sah secara hukum karena telah sesuai dengan KUHAP, sedangkan menyangkut hak asasi untuk memperoleh perlakuan dan perlindungan sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum sebagaimana ditegaskan dalam pasal 5 UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM dapat tetap dipenuhi dalam keadaan statusnya sebagai tahanan dengan mekanisme pembantaran. Pembantaran merupakan penundaan penahanan sementara terhadap tersangka karena alasan kesehatan (rawat jalan/rawat inap) yang dikuatkan dengan keterangan dokter sampai dengan yang bersangkutan dinyatakan sembuh kembali.   
Pengaturan pembantaran dalam UU KPK  maupun peraturan yang diterbitkan KPK memang sebenarnya belum ada, namun hal ini  telah diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia ataupun SEMA No 1 Tahun 1989.  Namun bukan berarti pembantaran tidak sah dilakukan KPK.  KPK dapat melakukan diskresi demi menjalankan perintah pasal 5 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, karena alasan diskresi telah menemukan justifikasinya yakni demi melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) UU No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.  
 Dengan demikian perintah pasal 3, pasal 4 dan pasal 5 UU No 39 Tahun 1999 yang mengatur tentang proses hukum yang harus menjunjung tinggi dan menghormati Hak Asasi Manusia dapat berjalan seiring sejalan dengan perintah KUHAP dalam penahanan tersangka yang sakit disebabkan alasan subyektif penyidik maupun alasan obyektif yang ditetapkan Undang-Undang melalui kebijakan menetapkan menahan tersangka yang sakit dengan memberikan hak pembantaran.  Singkatnya, penahanan tersangka yang sakit dengan memberikan pembantaran telah memenuhi sekaligus dua perspektif, yakni perspektif prosedur penegakan hukum dan dalam rangka menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusian dalam perspektif HAM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.