HAM selalu dijadikan salah satu senjata
pamungkas pengacara ketika kliennya dilakukan upaya paksa oleh penegak hukum
pasca ditetapkannya sebagai tersangka.
Perspektif HAM dalam penegakan hukum yang pada dasarnya bercita-cita menjunjung tinggi dan menghormati
harkat dan kehormatan sebagai manusia dalam proses penegakan hukum, untuk
diperlakukan sama di depan hukum dan mencegah kesewenang-wenangan aparat
penegak hukum tidak jarang disalahgunakan untuk membangun argumentasi hukum secara
serampangan.
Oleh karena itu, menjadi hal penting dan krusial
untuk memahami ketentuan HAM yang berkaitan dengan penegakan hukum sehingga
mampu mendudukkan persoalan proses penegakan hukum atau hukum acara/formil dalam
perspektif HAM secara tepat, akurat dan proporsional. Berkaitan
hal ini, International Covenant On Civil
And Political Rights (ICCPR) ataupun UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia menegaskan untuk mengakui, menjamin, memberi perlindungan dan pengakuan
hukum yang adil, mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan
hukum (pasal 3), memiliki hak menuntut
dan memperoleh perlakuan dan perlindungan yang sama sesuai dengan martabat
kemanusiaannya di depan hukum, mendapatkan bantuan dan perlindungan hukum yang
adil, obyektif dan tidak memihak, serta kelompok rentan berhak mendapatkan
afirmasi hukum (pasal 5), termasuk hak untuk tidak disiksa, diakui sebagai
pribadi di depan hukum dan tidak dapat diberlakukan asas retroaktif (pasal 4).
Upaya
hukum apapun termasuk memanfaatkan forum hukum nasional maupun forum hukum
internasional secara hukum memang diakui berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Pasal 7 ayat (1) UU No 39 Tahun 1999 menegaskan “Setiap orang berhak untuk menggunakan semua
upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi
manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai hak
asasi manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia”,
Namun demikian, upaya hukum tersebut harus
didasarkan pada perlakuan hukum yang selaras dengan ketentuan hukum acara atau
hukum formil yang berlaku. Pasal 17 UU No 39 Tahun 1999 menegaskan “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak
untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan,
baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui
proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang
menjamin pemeriksaan yang obyektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk
memperoleh putusan yang adil dan benar”.
Berdasarkan ketentuan KUHAP, tindakan upaya
paksa seperti penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan
secara sah dapat dilakukan setelah proses penegakan hukum mencapai tahap
penyidikan. Ketentuan Umum dalam KUHAP tentang
penyidikan menegaskan penetapan tersangka merupakan bagian dari rangkaian
penyidikan, sehingga konsekuensinya terhadap tersangka dapat dikenakan upaya penahanan,
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (4) KUHAP.
Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) perintah penahanan terhadap seorang tersangka yang
diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dilakukan
dalam hal:
1.
adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan melarikan
diri,
2.
adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan merusak atau
menghilangkan barang bukti
3.
adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka akan mengulangi
tindak pidana.
Sedangkan Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang
menyatakan bahwa penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka
atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan maupun pemberian
bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
1. tindak pidana itu
diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
2. tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1),
Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a,
Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie
(pelanggaran terhadap Ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan
Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang
Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara
Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47
dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran
Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086).
Dengan demikian, berpegang pada pasal 17 UU No
39 Tahun 1999 dan KUHAP telah jelas bahwa upaya penahanan ataupun upaya lainnya
tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM apabila
diselenggarakan dalam proses penyidikan sepanjang selaras demham KUHAP. Namun bagaimana seandainya tersangka dalam
keadaan sakit namun tetap dilakukan upaya penahanan atau ditetapkan statusnya
sebagai tahanan karena terpenuhinya unsur pasal 21 ayat (1) dan ayat (4)
KUHAP?.
Dalam hal seperti ini penahanan tetap dapat
dilakukan dan sah secara hukum karena telah sesuai dengan KUHAP, sedangkan
menyangkut hak asasi untuk memperoleh perlakuan dan perlindungan sesuai dengan
martabat kemanusiaannya di depan hukum sebagaimana ditegaskan dalam pasal 5 UU
No 39 Tahun 1999 tentang HAM dapat tetap dipenuhi dalam keadaan statusnya
sebagai tahanan dengan mekanisme pembantaran. Pembantaran merupakan penundaan
penahanan sementara terhadap tersangka karena alasan kesehatan (rawat
jalan/rawat inap) yang dikuatkan dengan keterangan dokter sampai dengan yang
bersangkutan dinyatakan sembuh kembali.
Pengaturan pembantaran dalam UU KPK maupun peraturan yang diterbitkan KPK memang
sebenarnya belum ada, namun hal ini telah
diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 12 Tahun 2009 tentang
Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian
Negara Republik Indonesia ataupun SEMA No 1 Tahun 1989. Namun bukan berarti pembantaran tidak sah
dilakukan KPK. KPK dapat melakukan
diskresi demi menjalankan perintah pasal 5 UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia, karena alasan diskresi telah menemukan justifikasinya yakni demi
melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan
kepastian hukum dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna
kemanfaatan dan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) UU
No 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Dengan demikian perintah
pasal 3, pasal 4 dan pasal 5 UU No 39 Tahun 1999 yang mengatur tentang proses
hukum yang harus menjunjung tinggi dan menghormati Hak Asasi Manusia dapat
berjalan seiring sejalan dengan perintah KUHAP dalam penahanan tersangka yang
sakit disebabkan alasan subyektif penyidik maupun alasan obyektif yang
ditetapkan Undang-Undang melalui kebijakan menetapkan menahan tersangka yang
sakit dengan memberikan hak pembantaran.
Singkatnya, penahanan tersangka yang sakit dengan memberikan pembantaran
telah memenuhi sekaligus dua perspektif, yakni perspektif prosedur penegakan
hukum dan dalam rangka menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat
kemanusian dalam perspektif HAM.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar