Rencana Mendagri meminta Polri mengusulkan
dua orang Perwira Tinggi setingkat jabatan pimpinan tinggi madya menuai pro dan
kontra. Parpol pengusung calon Gubernur selain Parpol
asal Mendagri (PDIP) bersuara vokal menolak rencana tersebut, meski sebagian
Parpol tersebut merupakan parpol pendukung pemerintah seperti Nasdem, PKB, PAN,
dan mungkin parpol pendukung pemerintah non koalisi PDIP di Pilkada yang
direncakan menempatkan Pj Gubernur dari Polri.
Hal ini mengindikasikan satu hal, ada kecurigaan menyangkut netralitas
Pj Gubernur dari Polri karena kebetulan ada calon peserta kontestasi Pilkada
yang sudah mengundurkan diri dari Polri.
Berbagai argunentasi yang pada dasarnya
menolak rencana tersebut mengambil posisi mempersoalkan isu dwi fungsi ABRI, aspek
yuridis, masalah netralitas, dan menyangkut kompetensi. Oleh karena itu penting untuk mencoba
menggali isu-isu tersebut secara proporsional.
1.
Isu Dwi
Fungsi ABRI
Menggambarkan Dwi Fungsi ABRI dari perspektif
sejarawan akan sangat beragam karena perspektif yang digunakan sejarawan atau
bahkan saksi sejarah juga berbeda.
Menyimak penjelasan dua nara sumber
saksi dan pelaku sejarah, Prof Salim Said dan Letjen (Purn) Agus Widjojo dan
ditambah lagi dengan paparan Pakar Hukum Tata Negara, Dr, Iman Putra Sidin saja
dalam sebuah acara televisi bertajuk Indonesia Lawyer Club (ILC) mengesankan
perpektif yang berbeda berdasarkan penekanan titik fokus yang ingin disampaikan ketiganya.
Hal ini masih akan menjadi persoalan ketika
ingin dikaitkan dengan isu penempatan Jenderal aktif dari TNI maupun Polri
sebagai Pj Gubernur dalam rangka penyelenggaraan kontestasi pilkada 2018 karena
penjelasan-penjelasan tersebut masih absurd
disebabkan masih susah ditangkap batasan-batasannya sehingga berpotensi
menimbulkan multi tafsir. Oleh karena
itu, akan lebih memberikan kepastian apabila isu dwi fungsi ABRI ini kemudian
dirujuk berdasarkan pendekatan yuridis.
Karena bagaimanapun, pasca reformasi, semua semangat perubahan itu
termasuk dalam rangka menghapus doktrin Dwi Fungsi ABRI telah dituangkan dan
tercermin dalam peraturan perundang-undangan.
Tentu
saja yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
TNI dan Polri. UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 2 huruf d. menegaskan: “Tentara
Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik,
tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta
mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi
sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional
yang telah diratifikasi”.
Hal ini kemudian ditegaskan lagi pada pasal
39 "Prajurit dilarang terlibat dalam:
1. kegiatan menjadi anggota partai politik; 2. kegiatan politik praktis; 3.
kegiatan bisnis; dan 4. kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam
pemilihan umum dan jabatan politis lainnya”. Penjelasan terhadap pasal 2 dalam UU
tersebut ditegaskan bahwa Tentara tidak
berpolitik praktis dalam arti bahwa tentara hanya mengikuti politik negara,
dengan mengutamakan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia,
ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Demikian juga dengan UU No 2 Tahun 2002
tentang Polri pasal 28 menegaskan bahwa (1)
Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik
dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. (2) Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. (3)
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar
kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Penjelasan pasal 28 UU No 2 Tahun 2002
menegaskan Ayat (1) Yang dimaksud dengan "bersikap netral" adalah
bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia bebas dari pengaruh semua
partai politik, golongan dan dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai
politik. Ayat (2) Meskipun anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak
menggunakan hak memilih dan dipilih, namun keikutsertaan Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui
Majelis Permusyawaratan Rakyat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "jabatan di luar
kepolisian" adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan
kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.
Dalam batasan itulah Dwi Funsgi ABRI dihapus
dari TNI dan Polri, tidak lebih dan tidak kurang, itupun kalau masih
mendasarkan pada prinsip negara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 UUD
1945 yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Tidak ada larangan TNI dan Polri menduduki
jabatan publik asalkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,
misalnya dalam penjelasan pasal 28 ayat (3) UU No 2 Tahun 2002, syaratnya harus melalui penugasan dari Kapolri.
Sebagai tambahan penjelasan, secara khusus
bahkan Polri bukan lagi bagian dari Angkatan Bersenjata atau ABRI pada masa
lalu. Polri bukan bagian dari TNI/ABRI
pasca reformasi berdasarkan UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4), TAP MPR RI
No VI Tahun 2000, TAP MPR RI No VII Tahun 2000, dan UU No 2 Tahun 2002
menegaskan Polri terpisah dari TNI/ABRI. Polri merupakan bagian dari institusi
sipil, bukan institusi militer.
Membangun demokrasi yang tidak hanya
prosedural akan tetapi juga substansial yang mampu menghasilkan pemilu
berkualitas untuk menegaskan supremasi sipil juga tidak dapat dikaitkan dengan
kebijakan menunjuk Pj Gubernur dari TNI/Polri.
Menurut penjelasan pasal 2 huruf d UU No 34 tahun 2004 tentang TNI menegaskan
bahwa “yang dimaksud dengan supremasi
sipil adalah kekuasaan politik yang dimiliki atau melekat pada pemimpin negara
yang dipilih rakyat melalui hasil pemilihan umum sesuai dengan asas demokrasi.
Supremasi sipil dalam hubungannya dengan TNI berarti bahwa TNI tunduk pada
setiap kebijakan dan keputusan politik yang ditetapkan Presiden melalui proses
mekanisme ketatanegaraan”.
2.
Aspek
Yuridis
Penunjukan Pj Gubernur dari TNI dan Polri sah
dan legal menurut hukum, baik menurut UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, UU
No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, UU No 34 Tahun 2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia, maupun UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, serta Permendagri No 1 Tahun 2018 tentang tentang Cuti di
luar Tanggungan Negara.
UU No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional
Indonesia, maupun UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia jelas tidak melarang personel TNI/Polri aktif menjabat sebagai PJ
Gubernur. Larangan politik praktis dalam
pasal 2 huruf d dan pasal 39 UU No 34 Tahun 2004 dimaksudkan bahwa Tentara
tidak berpolitik praktis dalam arti bahwa tentara hanya mengikuti politik
negara, dengan mengutamakan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi
manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang telah
diratifikasi.
Demikian juga dengan Pasal 28 ayat (1) UU No 2 Tahun 2002 yang dalam
bagian penjelasanya menegaskan bahwa “yang
dimaksud dengan "bersikap netral" adalah bahwa anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia bebas dari pengaruh semua partai politik, golongan
dan dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik”. Penjelasan pasal 28 ayat (3) UU No 2 Tahun
2002 mempertegas bahwa personel Polri dapat mengemban tugas di luar kepolisian
dengan syarat mendapatkan penugasan dari Kapolri. Penjelasan Pasal 28 Ayat (3) UU No 2
Tahun 2002 menyatakan “yang dimaksud dengan "jabatan di luar
kepolisian" adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan
kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri”.
Terkait dengan amanat Undang-Undang No 10
Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Pilkada) Pasal 201 ayat (10) yang menegaskan bahwa “Untuk
mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal
dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, maka untuk memahami
kesetaraannya dengan jabatan tertentu di Polri, dapat didekati dengan beberapa
penafsiran:
Penafsiran sistematis terhadap pasal 201 ayat
(10) menyangkut “jabatan pimpinan tinggi madya” dapat ditemukan pada penjelasan
Penjelasan Pasal 19 ayat (1) Huruf b UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil
Negara, menegaskan “yang dimaksud dengan
”jabatan pimpinan tinggi madya” meliputi sekretaris jenderal kementerian,
sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan
lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga nonstruktural, direktur jenderal,
deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri,
Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris
Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris
daerah provinsi, dan jabatan lain
yang setara”.
Adanya klausul “jabatan lain yang setara”
dalam penjelasan pasal tersebut dilatarbelakangi oleh adanya beberapa personel
aktif TNI/Polri yang memegang jabatan tinggi di Kementerian/Lembaga. Penjelasan Pasal 19 ayat (1) Huruf b UU No 5
Tahun 2014 mempertegas bahwa Perwira TNI/Polri dengan jabatan dan pangkat
tertentu yang setara dengan “jabatan pimpinan tinggi madya” dapat ditunjuk
untuk menduduki jabatan Pj Gubernur. Hal
ini kemudian semakin dipertegas dengan Permendagri No 1 Tahun 2018 tentang Cuti
Di luar Tanggungan Negara, pasal 4 ayat 2: Penjabat Gubernur berasal dari
pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintahan pusat/provinsi.
Pendekatan tafsir teleologis pun akan
menemukan justifikasi serupa. Konsideran
huruf a UU No 5 Tahun 2014: "dalam rangka menjamin pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan
dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.....", yang dalam konteks praktisnya dengan menjamin kebutuhan
kompetensi, netralitas dan keamanan di daerah rawan selama berlangsungnya
Pilkada, maka Pj Gubernur yang dijabat Pejabat Tinggi Madya itu kemudian dapat
ditafsirkan Pejabat Tinggi Madya/Setara sebagaimana disebutkan dalam
Permendagri No 1 Tahun 2018.
Hal ini mengingat penanganan daerah rawan
Pilkada harus ditangani secara dini oleh pejabat yang kompeten yang mampu
memahami dengan baik strategi taktis di lapangan mulai dari tahap preemptif
(penangkalan) dan preventif (pencegahan) yang paling diutamakan dan represif
(apabila terpaksa/ultimatum remedium/pilihan
terakhir) dengan posisi sebagai pengambil keputusan tertinggi di suatu daerah
rawan dengan dukungan sumber daya paling melimpah (Gubernur) baik dari sisi
anggaran, kewenangan maupun sumber daya manusia. Pejabat tinggi dari TNI dan Polri sudah makan
asam garam menyangkut masalah-masalah seperti ini dengan tetap mampu menjaga
netralitasnya. Hal ini juga secara nyata
sudah terbukti di beberapa Pilkada sebelumnya baik pada masa pemerintahan pak
SBY maupun pemerintahan pak Jokowi di daerah rawan yang Pj Gubernurnya dari
petinggi TNI/Polri yang Pilkadanya berjalan kondusif, aman, sukses dan tidak
menimbulkan isu ketidaknetralan.
Sesungguhnya pejabat negara atau pemerintahan
juga dibekali dengan kewenangan diskresi.
Dimana menurut UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan
pasal 1 ayat (9) menegaskan Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang
ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi
persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal
peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak
lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
Kemudian disebutkan lagi dalam Pasal 4 ayat
(2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7, dan pasal-pasal lainnya di Undang-Undang yang
sama, terutama pada pasal 22 Bab VI tentang Diskresi, yang menegaskan bahwa (1)
Diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang (2)
Setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk: a. melancarkan
penyelenggaraan pemerintahan; b. mengisi kekosongan hukum; c. memberikan
kepastian hukum; dan d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu
guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Berdasarkan pertimbangan (1) Kebutuhan kompetensi Pj Gubernur
pada masa Pilkada terhadap daerah yang diidentiikasi sebagai daerah rawan
pilkada (tentu saja yang berwenang menetapkan daerah rawan adalah
Kementerian/Lembaga yang berwenang, bukan sembarang orang atau siapa saja) ,
(2) Kebutuhan pejabat eselon I baik dalam jumlah (kuantitas) maupun kompetensi
(kualitas) yang cukup besar secara serentak di 19 Propinsi (17 Propinsi
Gubernurnya mencalonkan lagi, 2 Propinsi Gubernurnya Purna Jabatan menjelang
Pilkada 2018, maka pendekatan kewenangan diskresi yang dimiliki pejabat terkait
menjadi relevan melibatkan pejabat setngkat eselon I yang berpengalaman dalam
menjaga stabiltas keamanan sekaligus tetap menjamin netralitasnya .
3.
Menyoal
Netralitas
Apabila menyoal tentang netralitas, justru TNI, Polri dan
baru-baru ini ASN secara tegas dalam UU yang berbeda dinyatakam harus netral
dari politik praktis, yang dapat diartikan menurut penjelasan pasal 28 ayat (1)
UU No 2 Tahun 2002, maksud dari tidak berpolitik praktis itu apabila bebas dari
pengaruh partai poltik, golongan dam bukan bagian atau anggota dari partai
politik tertentu. Demikian juga dengan
pasal 2 huruf d beserta penjelasannya dan pasal 39 UU No 34 Tahun 2004 tentang
TNI, sehingga pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara TNI, Polri dan ASN.
Sebagian pejabat eselon I di lingkungan Kemendagri justru lebih
rawan dari pengaruh partai politik karena sebagiannya, atau sekurang-kurangnya
Staf Ahli Mendagri dipilih oleh orang partai atau bahkan dari partai politik, sehingga
sulit tidak dikatakan bebas dari pengaruh parpol. Demikian juga Sekda Propinsi
yang juga pejabat eselon I justru lebih rentan terpengaruh kekuatan parpol karena
dekat dengan Gubernur dari Parpol atau sekurang-kurangnyanya menyangkut
sebagian kompetensi Sekda untuk menjadi Plt Gubernur yang ruang lingkup
tanggung jawabnya lebih luas dibanding sekedar Sekda yang merupakan jabatan
pimpinan tinggi madya paling awal.
Kalaupun curiga ada motif politik di balik penunjukan 2 Pati
Polri sebagai Plt Gubernur, bukankah sesungguhnya akan lebih mudah bagi
Mendagri kalau ingin memasukkan orang partai yang tidak bebas pengaruh partai
politik atsu bahkan anggota partai politik yang sedang menduduki jabatan eselon
I di Kemendagri dibanding menunjuk Pati Polri yg jelas-jelas bukan orang partai
ataupun anggota partai politik.
Sangat tidak masuk akal ada kepentingan pemenangan
calon tertentu di sana, yang membuat kebijakan saja punya partai berbeda dan
memiliki calon gubernur yang berbeda. Menko Polhukam dari partai HANURA mendukung
Kang Emil di Jabar, sementara partai asal Mendagri, PDIP mendukung calon dari
partainya sendiri yang berbeda dari dukungsn Hanura. Di Sumut pun sama, Partai Hanura besutan
Menko Polhuksm mendukung pak Edi mantan Pangkostad, sedangkan partai asal Mendagri
PDIP mendukung pak Djarot.
4.
Masalah
Kompetensi
TNI dan Polri tidak terafiliasi dengan parpol manapun, dan
Undang-Undang sejak tahun 2002 untuk Polri dan tahun 2004 untuk TNI telah
secara tegas memerintahkan Polri dan TNI netral, tidak terjebak dengan politik
praktis. Di sisi lain, tidak diragukan Polri ataupun TNI sudah makan asam garam
dalam menjaga stabilitas keamanan di negeri ini, terbukti pada Pilkada
sebelmnya pada daerah rawan dan ditempatkan TNI /Polri sebagai Pj kepala daerah,
pilkadanya berlangsung dengan aman dan tidak ada isu ketidaknetralan di sana.
Ini bukti, bukan teori. Kita tidak ingin daerah rawan ramai dulu baru kemudian
diatasi sehingga menimbulkan ongkos sosial, ekonomi dan politik yang terlalu
tinggi, termasuk biaya pengearahan personel dari daerah lain untuk perbantuan.
Polri sudah biasa memiliki paradigma pendekatan preemptif (tangkal), preventif
(cegah) dan baru yang terakhir represif (tanggulangi) untuk memastikan
stablitas keamanan.
Dua pendekatan yang pertama, preemptif dan preventif
merupakan langkah paling penting untuk menangkal dan mencegah potensi kerawanan
muncul ke permukaan dan terjadi. Jangan sampai seperti di DKI yang akhirnya
memaksa aparat penegak hukum sampai pada tahap penegakan hukum (represif) yang
ongkos politik, sosial dan ekonomi finansialnya terlalu tinggi, sehngga
diperlukan PJj Gubernur yang memahami secara teknis tindakan -tindakan
preemptif (penangkalan) dan preventif (pencegahan), jangan sampai terlanjur
berkembang pada situasi yang memaksa aparat penegak hukum melakukan tindakan
respresif (penegakan hukum). Kompetensi Itu ada pada aparat dengan pangkat yang
setara dengan pejebat pimpinan tinggi madya dan sudah berpengalaman dalam
bidang keamanan.
Penjelasan
terkait ruang lingkup penghapusan dwi fungsi ABRI yang didasarkan pada
peraturan perundang-undangan, landasan yuridis menyangkut legalitas Plt
Gubernur dari TNI/Polri, fakta netaralitas yang sudah terbukti dan tidak adanya
potensi keberpihakan, dan kompetensi petinggi TNI/Polri menjadi Plt Gubernur di
daerah rawan Pilkada semakin menegaskan bahwa kebutuhan terhadap petinggi
TNI/Polri menjadi Plt Gubernur di daerah rawan Pilkada tidak melampaui semangat
reformasi untuk menanggalkan dwi fungsi ABRI sebagaimana diatur dalam peraturan
perundang-undangan, tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan berlaku, lebih terjamin netralitasnya, dan sesuai dengan
kompetensinya dalam mengelola daerah rawan Pilkada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar