Rabu, 04 April 2018

MENYOAL JENDERAL POLRI MENJADI PJ GUBERNUR SAAT PILKADA

            Rencana Mendagri meminta Polri mengusulkan dua orang Perwira Tinggi setingkat jabatan pimpinan tinggi madya menuai pro dan kontra.   Parpol pengusung calon Gubernur selain Parpol asal Mendagri (PDIP) bersuara vokal menolak rencana tersebut, meski sebagian Parpol tersebut merupakan parpol pendukung pemerintah seperti Nasdem, PKB, PAN, dan mungkin parpol pendukung pemerintah non koalisi PDIP di Pilkada yang direncakan menempatkan Pj Gubernur dari Polri.  Hal ini mengindikasikan satu hal, ada kecurigaan menyangkut netralitas Pj Gubernur dari Polri karena kebetulan ada calon peserta kontestasi Pilkada yang sudah mengundurkan diri dari Polri.
Berbagai argunentasi yang pada dasarnya menolak rencana tersebut mengambil posisi mempersoalkan isu dwi fungsi ABRI, aspek yuridis, masalah netralitas, dan menyangkut kompetensi.  Oleh karena itu penting untuk mencoba menggali isu-isu tersebut secara proporsional.

1.     Isu Dwi Fungsi ABRI
Menggambarkan Dwi Fungsi ABRI dari perspektif sejarawan akan sangat beragam karena perspektif yang digunakan sejarawan atau bahkan saksi sejarah juga berbeda.  Menyimak penjelasan dua nara sumber  saksi dan pelaku sejarah, Prof Salim Said dan  Letjen (Purn) Agus Widjojo dan ditambah lagi dengan paparan Pakar Hukum Tata Negara, Dr, Iman Putra Sidin saja dalam sebuah acara televisi bertajuk Indonesia Lawyer Club (ILC) mengesankan perpektif yang berbeda berdasarkan penekanan titik fokus yang ingin  disampaikan ketiganya.
Hal ini masih akan menjadi persoalan ketika ingin dikaitkan dengan isu penempatan Jenderal aktif dari TNI maupun Polri sebagai Pj Gubernur dalam rangka penyelenggaraan kontestasi pilkada 2018 karena penjelasan-penjelasan tersebut masih absurd disebabkan masih susah ditangkap batasan-batasannya sehingga berpotensi menimbulkan multi tafsir.    Oleh karena itu, akan lebih memberikan kepastian apabila isu dwi fungsi ABRI ini kemudian dirujuk berdasarkan pendekatan yuridis.  Karena bagaimanapun, pasca reformasi, semua semangat perubahan itu termasuk dalam rangka menghapus doktrin Dwi Fungsi ABRI telah dituangkan dan tercermin dalam peraturan perundang-undangan.
      Tentu saja yang dimaksud adalah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan TNI dan Polri.  UU No 34 Tahun 2004  tentang TNI Pasal 2 huruf d. menegaskan:  Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi”. 
Hal ini kemudian ditegaskan lagi pada pasal 39 "Prajurit dilarang terlibat dalam: 1. kegiatan menjadi anggota partai politik; 2. kegiatan politik praktis; 3. kegiatan bisnis; dan 4. kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya”.   Penjelasan terhadap pasal 2 dalam UU tersebut ditegaskan bahwa  Tentara tidak berpolitik praktis dalam arti bahwa tentara hanya mengikuti politik negara, dengan mengutamakan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi.  
Demikian juga dengan UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri pasal 28 menegaskan bahwa (1) Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis. (2) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. (3) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Penjelasan pasal 28 UU No 2 Tahun 2002 menegaskan Ayat (1) Yang dimaksud dengan "bersikap netral" adalah bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia bebas dari pengaruh semua partai politik, golongan dan dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Ayat (2) Meskipun anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih, namun keikutsertaan Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ayat (3) Yang dimaksud dengan "jabatan di luar kepolisian" adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.
Dalam batasan itulah Dwi Funsgi ABRI dihapus dari TNI dan Polri, tidak lebih dan tidak kurang, itupun kalau masih mendasarkan pada prinsip negara hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum.  Tidak ada larangan TNI dan Polri menduduki jabatan publik asalkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, misalnya dalam penjelasan pasal 28 ayat (3) UU No 2 Tahun 2002, syaratnya harus melalui penugasan dari Kapolri.
Sebagai tambahan penjelasan, secara khusus bahkan Polri bukan lagi bagian dari Angkatan Bersenjata atau ABRI pada masa lalu.  Polri bukan bagian dari TNI/ABRI pasca reformasi berdasarkan UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) dan ayat (4), TAP MPR RI No VI Tahun 2000, TAP MPR RI No VII Tahun 2000, dan UU No 2 Tahun 2002 menegaskan Polri terpisah dari TNI/ABRI. Polri merupakan bagian dari institusi sipil, bukan institusi militer.
Membangun demokrasi yang tidak hanya prosedural akan tetapi juga substansial yang mampu menghasilkan pemilu berkualitas untuk menegaskan supremasi sipil juga tidak dapat dikaitkan dengan kebijakan menunjuk Pj Gubernur dari TNI/Polri.   Menurut penjelasan pasal 2 huruf d UU No 34 tahun 2004 tentang TNI menegaskan bahwa “yang dimaksud dengan supremasi sipil adalah kekuasaan politik yang dimiliki atau melekat pada pemimpin negara yang dipilih rakyat melalui hasil pemilihan umum sesuai dengan asas demokrasi. Supremasi sipil dalam hubungannya dengan TNI berarti bahwa TNI tunduk pada setiap kebijakan dan keputusan politik yang ditetapkan Presiden melalui proses mekanisme ketatanegaraan”.

2.     Aspek Yuridis
Penunjukan Pj Gubernur dari TNI dan Polri sah dan legal menurut hukum, baik menurut UU No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, UU No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, maupun UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, serta Permendagri No 1 Tahun 2018 tentang tentang Cuti di luar Tanggungan Negara.
UU No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, maupun UU No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia jelas tidak melarang personel TNI/Polri aktif menjabat sebagai PJ Gubernur.  Larangan politik praktis dalam pasal 2 huruf d dan pasal 39 UU No 34 Tahun 2004 dimaksudkan bahwa Tentara tidak berpolitik praktis dalam arti bahwa tentara hanya mengikuti politik negara, dengan mengutamakan prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan ketentuan hukum internasional yang telah diratifikasi.  
Demikian juga dengan Pasal  28 ayat (1) UU No 2 Tahun 2002 yang dalam bagian penjelasanya menegaskan bahwa “yang dimaksud dengan "bersikap netral" adalah bahwa anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia bebas dari pengaruh semua partai politik, golongan dan dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik”.  Penjelasan pasal 28 ayat (3) UU No 2 Tahun 2002 mempertegas bahwa personel Polri dapat mengemban tugas di luar kepolisian dengan syarat mendapatkan penugasan dari Kapolri.  Penjelasan Pasal 28 Ayat (3) UU No 2 Tahun  2002 menyatakan “yang dimaksud dengan "jabatan di luar kepolisian" adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri”.
Terkait dengan amanat Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Pilkada)  Pasal 201 ayat (10) yang menegaskan bahwa “Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”, maka untuk memahami kesetaraannya dengan jabatan tertentu di Polri, dapat didekati dengan beberapa penafsiran:
Penafsiran sistematis terhadap pasal 201 ayat (10) menyangkut “jabatan pimpinan tinggi madya” dapat ditemukan pada penjelasan Penjelasan Pasal 19 ayat (1) Huruf b UU No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, menegaskan “yang dimaksud dengan ”jabatan pimpinan tinggi madya” meliputi sekretaris jenderal kementerian, sekretaris kementerian, sekretaris utama, sekretaris jenderal kesekretariatan lembaga negara, sekretaris jenderal lembaga nonstruktural, direktur jenderal, deputi, inspektur jenderal, inspektur utama, kepala badan, staf ahli menteri, Kepala Sekretariat Presiden, Kepala Sekretariat Wakil Presiden, Sekretaris Militer Presiden, Kepala Sekretariat Dewan Pertimbangan Presiden, sekretaris daerah provinsi, dan jabatan lain yang setara”.
Adanya klausul “jabatan lain yang setara” dalam penjelasan pasal tersebut dilatarbelakangi oleh adanya beberapa personel aktif TNI/Polri yang memegang jabatan tinggi di Kementerian/Lembaga.  Penjelasan Pasal 19 ayat (1) Huruf b UU No 5 Tahun 2014 mempertegas bahwa Perwira TNI/Polri dengan jabatan dan pangkat tertentu yang setara dengan “jabatan pimpinan tinggi madya” dapat ditunjuk untuk menduduki jabatan Pj Gubernur.  Hal ini kemudian semakin dipertegas dengan Permendagri No 1 Tahun 2018 tentang Cuti Di luar Tanggungan Negara, pasal 4 ayat 2: Penjabat Gubernur berasal dari pejabat pimpinan tinggi madya/setingkat di lingkup pemerintahan pusat/provinsi.
Pendekatan tafsir teleologis pun akan menemukan justifikasi serupa.   Konsideran huruf a UU No 5 Tahun 2014: "dalam rangka menjamin pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilaksanakan secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.....", yang dalam konteks praktisnya dengan menjamin kebutuhan kompetensi, netralitas dan keamanan di daerah rawan selama berlangsungnya Pilkada, maka Pj Gubernur yang dijabat Pejabat Tinggi Madya itu kemudian dapat ditafsirkan Pejabat Tinggi Madya/Setara sebagaimana disebutkan dalam Permendagri No 1 Tahun 2018.    
Hal ini mengingat penanganan daerah rawan Pilkada harus ditangani secara dini oleh pejabat yang kompeten yang mampu memahami dengan baik strategi taktis di lapangan mulai dari tahap preemptif (penangkalan) dan preventif (pencegahan) yang paling diutamakan dan represif (apabila terpaksa/ultimatum remedium/pilihan terakhir) dengan posisi sebagai pengambil keputusan tertinggi di suatu daerah rawan dengan dukungan sumber daya paling melimpah (Gubernur) baik dari sisi anggaran, kewenangan maupun sumber daya manusia.  Pejabat tinggi dari TNI dan Polri sudah makan asam garam menyangkut masalah-masalah seperti ini dengan tetap mampu menjaga netralitasnya.  Hal ini juga secara nyata sudah terbukti di beberapa Pilkada sebelumnya baik pada masa pemerintahan pak SBY maupun pemerintahan pak Jokowi di daerah rawan yang Pj Gubernurnya dari petinggi TNI/Polri yang Pilkadanya berjalan kondusif, aman, sukses dan tidak menimbulkan isu ketidaknetralan.
Sesungguhnya pejabat negara atau pemerintahan juga dibekali dengan kewenangan diskresi.  Dimana menurut UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pasal 1 ayat (9) menegaskan Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. 
Kemudian disebutkan lagi dalam Pasal 4 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7, dan pasal-pasal lainnya di Undang-Undang yang sama, terutama pada pasal 22 Bab VI tentang Diskresi, yang menegaskan bahwa (1) Diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang (2) Setiap penggunaan Diskresi Pejabat Pemerintahan bertujuan untuk: a. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; b. mengisi kekosongan hukum; c. memberikan kepastian hukum; dan d. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Berdasarkan pertimbangan (1) Kebutuhan kompetensi Pj Gubernur pada masa Pilkada terhadap daerah yang diidentiikasi sebagai daerah rawan pilkada (tentu saja yang berwenang menetapkan daerah rawan adalah Kementerian/Lembaga yang berwenang, bukan sembarang orang atau siapa saja) , (2) Kebutuhan pejabat eselon I baik dalam jumlah (kuantitas) maupun kompetensi (kualitas) yang cukup besar secara serentak di 19 Propinsi (17 Propinsi Gubernurnya mencalonkan lagi, 2 Propinsi Gubernurnya Purna Jabatan menjelang Pilkada 2018, maka pendekatan kewenangan diskresi yang dimiliki pejabat terkait menjadi relevan melibatkan pejabat setngkat eselon I yang berpengalaman dalam menjaga stabiltas keamanan sekaligus tetap menjamin netralitasnya .

3.     Menyoal Netralitas
Apabila menyoal tentang netralitas, justru TNI, Polri dan baru-baru ini ASN secara tegas dalam UU yang berbeda dinyatakam harus netral dari politik praktis, yang dapat diartikan menurut penjelasan pasal 28 ayat (1) UU No 2 Tahun 2002, maksud dari tidak berpolitik praktis itu apabila bebas dari pengaruh partai poltik, golongan dam bukan bagian atau anggota dari partai politik tertentu.   Demikian juga dengan pasal 2 huruf d beserta penjelasannya dan pasal 39 UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, sehingga pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara TNI, Polri dan ASN.
Sebagian pejabat eselon I di lingkungan Kemendagri justru lebih rawan dari pengaruh partai politik karena sebagiannya, atau sekurang-kurangnya Staf Ahli Mendagri dipilih oleh orang partai atau bahkan dari partai politik, sehingga sulit tidak dikatakan bebas dari pengaruh parpol. Demikian juga Sekda Propinsi yang juga pejabat eselon I justru lebih rentan terpengaruh kekuatan parpol karena dekat dengan Gubernur dari Parpol atau sekurang-kurangnyanya menyangkut sebagian kompetensi Sekda untuk menjadi Plt Gubernur yang ruang lingkup tanggung jawabnya lebih luas dibanding sekedar Sekda yang merupakan jabatan pimpinan tinggi madya paling awal.
Kalaupun curiga ada motif politik di balik penunjukan 2 Pati Polri sebagai Plt Gubernur, bukankah sesungguhnya akan lebih mudah bagi Mendagri kalau ingin memasukkan orang partai yang tidak bebas pengaruh partai politik atsu bahkan anggota partai politik yang sedang menduduki jabatan eselon I di Kemendagri dibanding menunjuk Pati Polri yg jelas-jelas bukan orang partai ataupun anggota partai politik.
Sangat tidak masuk akal ada kepentingan pemenangan calon tertentu di sana, yang membuat kebijakan saja punya partai berbeda dan memiliki calon gubernur yang berbeda. Menko Polhukam dari partai HANURA mendukung Kang Emil di Jabar, sementara partai asal Mendagri, PDIP mendukung calon dari partainya sendiri yang berbeda dari dukungsn Hanura. Di Sumut pun sama, Partai Hanura besutan Menko Polhuksm mendukung pak Edi mantan Pangkostad, sedangkan partai asal Mendagri PDIP mendukung pak Djarot.

4.     Masalah Kompetensi
TNI dan Polri tidak terafiliasi dengan parpol manapun, dan Undang-Undang sejak tahun 2002 untuk Polri dan tahun 2004 untuk TNI telah secara tegas memerintahkan Polri dan TNI netral, tidak terjebak dengan politik praktis. Di sisi lain, tidak diragukan Polri ataupun TNI sudah makan asam garam dalam menjaga stabilitas keamanan di negeri ini, terbukti pada Pilkada sebelmnya pada daerah rawan dan ditempatkan TNI /Polri sebagai Pj kepala daerah, pilkadanya berlangsung dengan aman dan tidak ada isu ketidaknetralan di sana. Ini bukti, bukan teori. Kita tidak ingin daerah rawan ramai dulu baru kemudian diatasi sehingga menimbulkan ongkos sosial, ekonomi dan politik yang terlalu tinggi, termasuk biaya pengearahan personel dari daerah lain untuk perbantuan. Polri sudah biasa memiliki paradigma pendekatan preemptif (tangkal), preventif (cegah) dan baru yang terakhir represif (tanggulangi) untuk memastikan stablitas keamanan.
Dua pendekatan yang pertama, preemptif dan preventif merupakan langkah paling penting untuk menangkal dan mencegah potensi kerawanan muncul ke permukaan dan terjadi. Jangan sampai seperti di DKI yang akhirnya memaksa aparat penegak hukum sampai pada tahap penegakan hukum (represif) yang ongkos politik, sosial dan ekonomi finansialnya terlalu tinggi, sehngga diperlukan PJj Gubernur yang memahami secara teknis tindakan -tindakan preemptif (penangkalan) dan preventif (pencegahan), jangan sampai terlanjur berkembang pada situasi yang memaksa aparat penegak hukum melakukan tindakan respresif (penegakan hukum). Kompetensi Itu ada pada aparat dengan pangkat yang setara dengan pejebat pimpinan tinggi madya dan sudah berpengalaman dalam bidang keamanan.
            Penjelasan terkait ruang lingkup penghapusan dwi fungsi ABRI yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, landasan yuridis menyangkut legalitas Plt Gubernur dari TNI/Polri, fakta netaralitas yang sudah terbukti dan tidak adanya potensi keberpihakan, dan kompetensi petinggi TNI/Polri menjadi Plt Gubernur di daerah rawan Pilkada semakin menegaskan bahwa kebutuhan terhadap petinggi TNI/Polri menjadi Plt Gubernur di daerah rawan Pilkada tidak melampaui semangat reformasi untuk menanggalkan dwi fungsi ABRI sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan berlaku, lebih terjamin netralitasnya, dan sesuai dengan kompetensinya dalam mengelola daerah rawan Pilkada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.